Landreform
BAB
I. PENGENALAN
LANDREFORM
1.1. Pemahaman Landreform
Pelaksanaan Land Reform di Indonesia
ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA terdapat pasal-pasal
yang merupakan dasar pelaksanaan land reform, yaitu Pasal 7 dan 17 yang menjadi
sumber pengaturan pembatasan luas tanah maksimum yang dapat dikuasai seseorang;
Pasal 10 yang menjadi dasar larangan penguasaan tanah secara absentee, Pasal 53
yang mengatur mengenai hak-hak sementara atas tanah pertanian.
Kemudian
sebagai pelaksanaan dari pasal-pasal tersebut, pada tanggal 1 Januari 1961
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Land Reform, dan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian
Ganti Rugi dan PP Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Perbaikan PP 224
Tahun 1961.
Sampai
saat ini selama 44 tahun, UU Land Reform masih berlaku. Pelaksanaan land reform
sudah mencapai titik kulminasi pada tahun 1961, pada tahun 1966 tertahan
gerakannya oleh isu komunisme.
Kemenangan
Orde Baru yang anti komunis dan cenderung kapitalistik telah menahan gerak laju
land reform, terutama yang berkaitan dengan pemberlakuan batas maksimum.
Sedangkan untuk batas minimum seolah-olah diterapkan melalui pembukaan tanah
untuk transmigrasi, padahal sesungguhnya hal ini merupakan bagian dari kegiatan
kapitalisasi hutan.
Ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang mengakibatkan
adanya pemberian otonomi di bidang pertanahan kepada Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota merupakan suatu perubahan besar dalam pelaksanaan Hukum Tanah
Nasional pada umumnya dan pelaksanaan land reform pada khususnya.
Kebijakan
pertanahan nasional yang dirumuskan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 didasarkan
pada konsepsi, bahwa semua tanah adalah tanah Bangsa Indonesia sebagai Karunia
Tuhan Yang Maha Esa, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara, untuk
digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak menguasai dari Negara
itu yang intinya dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA, memberikan kewenangan untuk
mengatur dan menetapkan berbagai segi penguasaan tanah yang sejak semula
menurut sifatnya selalu dianggap sebagai tugas Pemerintah Pusat. Pengaturan dan
penetapan tersebut yang meliputi perencanaan peruntukan tanah, penguasaan dan
perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah serta pendaftaran tanah, pelaksanaan
ketentuan hukumnya pada asasnya selalu dilakukan oleh Pemerintah Pusat sendiri.
Kalaupun ada pelimpahan kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan itu adalah
dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat Pemerintah Pusat yang ada di
Daerah ataupun kepada Pemerintah Daerah dalam rangka medebewind, bukan otonomi.
1.2. Makna Landreform
Menurut Mr. Sajarwo (1960)
Landreform tidak lain adalah suatu perubahan dasar atau perombakan struktur
pertanahan. Mr. Boedi Harsono, Landreform adalah merupakan bagian dari pada
Agrarian Reform, yaitu mengadakan perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan
tanah serta hubungan-hubungan hukum yang berhubungan dengan penguasaan tanah.
Sedangkan Sein Lin dalam bukunya “Reading in Landreform” memberikan pengertian
Landreform sebagai berikut :
a. Dalam arti luas, meliputi :
·
Perubahan
susunan pemilikan tanah;
·
Perubahan
susunan produksi;
·
Perubahan
mengenai pelayanan dibidang pertanian.
Landreform
dalam arti luas, yang terkenal dengan istilah Agrarian
Reform/Panca Program, terdiri dari :
v Pembaharuan hukum Agraria.
v Penghapusan hak-hak asing dan konsepsi-konsepsi
kolonial
atas tanah
v
Mengakhiri
penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
v
Perombakan
mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang
bersangkutan dengan penguasaan tanah.
v
Perencanaan,
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara berencana sesuai dengan daya
dan kesanggupan serta kemampuannya.
b. Dalam arti sempit, adalah pelaksanaan redistribusi
tanah obyek landreform.
Landreform
dalam arti sempit, menyangkut perombakan mengenai
pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan
dengan pengusahaan tanah. Selanjutnya di sini akan digunakan dalam cara yang
lebih terbatas yang mengarah pada program Pemerintah menuju pemerataan kembali
pemilikan tanah.
Ciri pokok pelaksanaan
landreform di Indonesia adalah sebagai berkut :
1) Tidak menghapus hak milik perseorangan
atas tanah bahkan secara kualitatif
menambah jumlah pemilik tanah.
2)
Adanya
suatu jaminan pembayaran ganti rugi (kompensasi) bagi bekas pemilik tanah-tanah
pertanian kelebihan batas maksimum dan absentee yang dikuasai oleh pemerintah.
Pelaksanaan landreform di negara kapitalis bersifat mengatur
hubungan antara tuan tanah dengan pekerja atau penggarap, jadi tetap dibiarkan
adanya tuan-tuan tanah, landreform hanya sekedar untuk mengatur hubungan kerja
saja. Sedangkan di negara komunis pelaksanaan landreform menuju kepada satu
persamaan pendapatan, persamaan penghasilan antar seluruh rakyat dengan
mehilangkan hak milik perorangan atas tanah.
Berdasarkan pengertian
landreform tersebut di atas, maka tujuan
landreform dapat diklasifikasikan terjadi 2 (dua) bagian, yaitu tujuan secara
umum dan tujuan secara khusus. Secara Umum tujuan Landreform adalah
untuk mempertinggi taraf hidup dan penghasilan petani penggarap, sebagai
landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
Sedang Secara Khusus dengan
berdasarkan pada tujuan secara umum di atas, maka Landreform di Indonesia
diarahkan agar dapat mencapai 3 (tiga) aspek sekaligus, yaitu :
v
Tujuan
Sosial Ekonomi:
·
Memperbaiki
keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik serta memberi isi dan
fungsi sosial pada hak milik.
·
Memperbaiki
produksi nasional khususnya sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan
taraf hidup rakyat.
v
Tujuan
Sosial Politik :
·
Mengakhiri
sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas.
·
Mengadakan
pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah
dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula.
v
Tujuan
Mental Psikologis :
·
Meningkatkan
kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian
hak mengenai pemilikan tanah.
·
Memperbaiki
hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.(Departemen
Penerangan R.I., 1982 :42)
Atas dasar tujuan itu maka
sasaran yang akan dicapai adalah memberikan pengayoman kepada para petani dalam
usaha memberikan kepastian hukum dan kepastian hak dengan cara memberikan hak
milik atas tanah yang telah digarapnya. Selanjutnya sebagai pengakuan adanya
hak milik perseorangan atas tanah, maka kepada bekas pemilik yang tanahnya
diambil oleh pemerintah diberikan ganti rugi menurut ketentuan yang berlaku.
Pelaksanaan landreform di
Indonesia secara resmi telah dimulai sejak tahun 1961, namun demikian para
petani penggarap sampai saat ini masih menanti pelaksanaan program landreform
secara nyata dan konsekuen, (Arie Sukanti Hutagalung, 1985:3).
1.3. Dasar Hukum Kegiatan Landreform
Sebagai landasan hukum pelaksanaan Landreform di Indonesia terdapat beberapa
peraturan perundang-undangan, yaitu :
a. Undang-undang No.5 Tahun 1960
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104) tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok
Agraria. Apabila kita teliti ketentuan tersebut maka kita akan menemukan
peberapa pasal yang berkenaan dengan pelaksanaan landreform, yaitu :
v Pasal 7 yang menentukan bahwa untuk
tidak merugikan kepentingnan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak diperkenankan.
v Pasal 10 ayat (1) yang menentukan bahwa
setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian
pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif
dengan mencegah cara-cara pemerasan.
v Pasal 13 ayat (2) yang menentukan
bahwa pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dan
organisasi-organisasi, perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
v Pasal 17 yang menentukan :
1)
Dengan mengingat kententuan dalam
pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur
luas maksimum dan minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut
dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
2)
Penetapan batas maksimum termaksud
dapal ayat (1) pasal ini dilakukan dengan Peraturan perundangan dalam waktu
yang singkat.
3)
Tanah-tanah yang merupakan kelebihan
dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah
dengan ganti rugi, untuk selanjutnya dibagi kepada rakyat yang membutuhkan
menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pememrintah.
4)
Tercapainya batas maksimum termaksud
dalam ayat (1) pasal ini yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan
dilaksanakan secara berangsur-angsur.
- Undang-undang
No. 1 Tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah-tanah Partikelir.
- Undang-undang
No. 56 /Prp/ 1960 tentang Penetapan luas Tanah Pertanian.
- Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1958 tentang tentang Pelaksanaan Undang-undang
Penghapusan Tanah Partikelir.
- Peraturan
Pemerintah No.224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Rugi.
- Peraturan
Pemerintah No.41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No.224 Tahun 1961.
- Peraturan
Pemerintah No.4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Absentee Bagi Para
Pensiunan Pegawai Negeri.
- Peraturan
Presiden No. 55 Tahun 1980 tentang Organisasi Penyelenggaraan Landreform.
BAB II. PENGGOLONGAN TANAH
OBYEK LANDREFORM
Sebagaimana diuraikan tersebut di atas tanah obyek
landreform adalah tanah tanah kelebihan batas maksimum, tanah absentee, tanah
swapraja dan bekas swapraja serta tanah tanah negara lainnya sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.
Selanjutnya tiap jenis tanah obyek landreform tersebut akan diuraikan satu
persatu.
2.1. Jenis – Jenis Tanah Obyek
Landreform
Tanah Kelebihan Maksimum
Tanah
kelebihan maksimum adalah tanah-tanah selebihnya dari batas ketentuan peraturan
perundang-undangan yang boleh dimiliki oleh keluarga . Pemilikan tanah oleh
satu keluarga inilah yang dipakai sebagai dasar, yaitu tidak boleh lebih dari
batas maksimum yang ditentukan, meskipun tanah-tanah pertanian itu dapat
dimiliki oleh masing-masing anggota keluarganya. Tapi pemilikan dari seluruh
anggota keluarga itu tidak boleh melebihi batas maksimum. Mengenai jumlah
anggota keluarga ditetapkan 7 orang, maka setiap anggota selebihnya dapat
ditambah dengan 10 % dari batas maksimum dengan ketentuan bahwa jumlah tanah
pertanian yang dimiliki seluruhnya tidak boleh dari 20 Ha (tanah sawah + tanah
kering).
Penetapan
maksimum luas tanah pertanian bagi perorangan bertujuan :
·
terwujudnya keadilan dan pemerataan penguasaan dan
pemilikan tanah.
·
mencegah terjadinya pemusatan dan pemilikan tanah
serta mencegah terjadinya spekulasi.
·
tercapainya efesiensi dan optimalisasi pemanfaatan
tanah guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat banyak terutama
golongan ekonomi lemah.
Sebagai
tindak lanjut pelaksanaan Pasal 7 dan Pasal 17 tersebut di atas ditentukan
batas maksimum untuk tanah suatu daerah yang dipakai sebagai dasar penggolongan
adalah kepadatan penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-undang
No.56 Tahun 1960 sebagai berikut :
Daerah-daerah yang
Kepadatan penduduknya tiap kilometer persegi |
digolongkan
|
Sawah
|
Tanah Kering
|
Ha
|
Ha
|
||
sampai 50
|
tidak padat
|
15
|
20
|
51
sampai 250
|
kurang padat
|
10
|
12
|
251
sampai 400
|
cukup padat
|
7,5
|
9
|
400
keatas
|
sangat padat
|
5
|
6
|
Jika tanah pertanian yang dikuasai itu
merupakan sawah dan tanah kering, maka untuk menghitung luas maksimum tersebut
luas sawah dijumlah dengan luas tanah
kering dengan menilai tanah kering sama dengan tanah sawah ditambah 30 % di
daerah-daerah yang tidak padat, dan 20 % di daerah-daerah yang padat dengan
ketentuan bahwa tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh
melebihi dari 20 hektar.
Ketentuan batas maksimum pemilikan
atau penguasaan tanah pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang No.56 Tahun 1960 tidak
berlaku terhadap tanah-tanah, yaitu
1.
Tanah pertanian yang dikuasai dengan Hak Guna
Usaha.
2. Tanah
pertanian yang dikuasai dengan hak-hak sementara, terbatas pada yang didapatkan
dari pemerintah, misalnya hak pakai.
3. Tanah-tanah
pertanian yang dikuasai oleh badan-badan hukum.
Tanah
yang luasnya lebih dari batas maksimum yang dipunyai oleh satu keluarga
dikuasai oleh pemerintah dan diredistribusikan kepada mereka yang memenuhi
syarat ketentuan Pasal 8 dan 9 Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961, dengan
harapan untuk mendorong kenaikan hasil produksi pertanian, karena akan menambah
kegairahan bekerja bagi para petani penggarap tanah yang bersangkutan yang
telah menjadi miliknya, dan kepada bekas pemiliknya diberikan ganti rugi.
Tanah Absentee
Tanah
absentee adalah tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal diluar
kecamatan letak tanahnya, karena pemilikan yang demikian itu disamping
pengusahaan tanah yang tidak ekonomis juga menimbulkan sistem penghisapan.
Larangan tersebut berkaitan dengan
berlakunya azas tanah pertanian harus dikerjakan sendiri secara aktif oleh
pemiliknya.
Hal
ini merupakan pelaksanaan dari azas yang dimaksud dalam Pasal 10 Undang-undang
No.5 Tahun 1960, bahwa pemilik tanah pertanian wajib mengerjgkan atau
mengusahakan sendiri tanahnya secara aktif. Pengertian mengerjakan sendiri
secara aktif adalah mereka yang memiliki atau menguasai tanah pertanian tidak
harus mengerjakan ataau mengusahakan dengan tenaganya sendiri, melainkan dapat
meminta bantuan kepada buruh tani dengan memberi upah yang layak atau
menggunakan sarana produksi lain.
Pemilik
tanah absentee diwajibkan dalam waktu 6 bulan sejak tanggal 24 September 1961
mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal ditempat
letak tanahnya atau ia sendiri harus pindah ke kecamatan dimana tanahnya
terletak. Bilamana ketentuan tersebut tidak dipenuhi maka tanah yang
bersangkutan dikuasai oleh Pemerintah dan dijadikan obyek landreform serta
diredistribusikan kepada orang lain yang memenuhi syarat serta kepada bekas
pemilik diberi ganti kerugian.
Pengecualian
larangan pemilikan tanah absentee diberikan kepada pemilik tanah yang bertempat
tinggal di kecamatan berbatasan dengan kecamatan dimana tanahnya terletak.
Pegawai Negeri dan pejabat-pejabat militer serta pensiunan pengawai negeri /
militer diperbolehkan memiliki tanah pertanian secara absentee seluas 2/5 dari
luas maksimum yang berlaku untuk daerah yang bersangkutan (Pasal 3 ayat (4)
Peraturan Pemerintah No.224 Tahun 1961 Jo. Peraturan Pemerintah No.4 Tahun
1977).
Terhadap
pemilikan tanah absentee baru karena warisan, bagi mereka yang tidak diberi
dispensasi, dalam jangka waktu satu tahun sejak menerima warisan, wajib untuk
mengalihkannya kepada orang lain yang bertempat tinggal di Kecamatan letak
tanah itu atau dia sendiri pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut.
Tanah Swapraja dan Bekas Swapraja
Tanah
Swapraja dan bekas Swapraja adalah tanah domein Swapraja dan bekas swapraja
yan.<dimiliki oleh kerajaan dan bukan milik pribadi dari raja yang bersifat
feodal dan tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1960. Dengan
berlakunya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 maka hak-hak dan wewenang-wewenang
atas bumi dan air dan Swapraja atau Bekas Swapraja yang masih ada sejak tanggal
24 September 1960 menjadi hapus dan beralih kepada negara. (Diktum keempat
huruf A Undang-Undang No.5 Tahun 1960).
Tanah
tersebut menurut Pasal 1 e Peraturan Pemerintah No.224 Tahun 1961 diberi
peruntukkan, sebagaian untuk kepentingan Pemerintah, sebagian untuk mereka yang
langsung dirugikan karena dihapusnya hak-hak Swapraja atas tanah tersebut, dan
sebagian untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan tanah-tanah swapraja
dan bekas Swapraja ini.
Tanah bekas Hak Erfpacht/Hak Guna
Usaha.
Yaitu tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh
negara karena telah habis waktunya atau dibatalkan, merupakan tanah pertanian.
Sedangkan khusus tanah bekas hak erfpacht sesuai surat Panitia Pertimbangan
Pusat tanggal 17 April 1963 No.1208/PLP/1963 dinyatakan bahwa Panitia
Pertimbangan Landreform Daerah Tingkat I perlu mengajukan usul dengan disertai
keterangan lengkap kepada Menteri Pertanian dan Agraria untuk ditegaskan baik
satu persatu maupun satu kelompok bekas tanah hak erfpacht bersama-sama dalam rangka pelaksanaan
redistribusi
Tanah kehutanan yang telah dikeluarkan dari kawasan
hutan.
Yaitu tanah-tanah kehutanan yang menurut Rencana
Umum Tata Ruang Wilayah telah berubah peruntukan dan penggunaan serta telah
dikeluarkan dari areal kawasan hutan. Tanah negara bekas tanah partikelir/ eigendom
yang terkena ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 yang merupakan tanah
pertanian dan tidak diberikan kembali kepada bekas pemilik sebagai ganti rugi.
Tanah
Adat/Ulayat yang telah dikeluarkan oleh Kepala Adat/Tetua Adat setempat,
serta tanah lainnya seperti tanah
gogolan tanah timbul, tanah pantai. Selanjutnya dari tanah-tanah obyek
landreform tersebut di atas akan dibahas lebih khusus yaitu tanah-tanah obyek
landreform yang akan diberikan ganti rugi oleh pemerintah menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu
tanah kelebihan maksimum dan absentee serta tanah partikelir:
2.2. Ketentuan Pengaturan Tanah Kelebihan Maksimum
Penguasaan
atas bagian-bagian tanah yang merupakan kelebihan dari luas maksimum, dimulai
sejak tanggal 24 September 1961 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria
No.SK.509/Ka/1961 dan menyerahkan wewenang untuk melaksanakan penguasaan kepada
Panitia Landreform Daerah Tingkat II. Panitia Landreform Daerah Tingkat II
kemudian memberikan keputusan :
a. Menetapkan
tanah-tanah mana untuk bekas pemilik dan yang mana langsung dikuasai oleh
Pemerintah, dengan memperhatikan :
· Letak tanah
yang masih memungkinkan penggarap yang efisien dari tempat tinggal.
· Kesatuan
tanah ( yang tetap dimiliki pemilik sedapat mungkin merupakan satu kelompok)
b. Kesuburan
tanah ( yang tetap dimiliki dan diserahkan mempunyai kesuburan yang seimbang). Menetapkan besar ganti rugi yang
dicantumkan dalam Surat Tanah Penyerahan Penerimaan Hak dan Pemberian Ganti
Rugi (STP3). Dengan pemberian STP3 kepada bekas pemilik berarti tanah-tanah
kelebihan dari batas maksimum secara riil atau secara langsung telah dikuasai
oleh Pemerintah.
Tanah pertanian yang terkena ketentuan
kelebihan batas maksimum yang dikuasai oleh orang-orang atau unit keluarga yang
melebihi dari batas maksimum yang diperkenankan, maka diwajibkan untuk melapor
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Tahap
laporan tanah kelebihan maksimum adalah :
1. Laporan-laporan
yang sudah masuk di Kantor Pertanahan disusun secara teratur untuk seluruh
kabupaten, sehingga dapat diketahui jumlah pelapor, luas tanah yang dilaporkan
untuk masing desa dan kecamatan.
2. Kepala
Kantor Pertanahan selaku Wakil Ketua Panitia Pertimbangan Landreform
menyerahkan bahan-bahan tersebut kepada sidang Panitia Lengkap atau Badan
Pekerja untuk menetapkan waktu, tempat dan pelapor yang akan diperiksa.
Pemeriksaan dilaksanakan oleh Badan Pekerja.
3. Para pelapor
dipanggil dan dikumpulkan di Kecamatan masing-masing untuk diminta keterangan
mengenai tanah pertanian yang dikuasainya dengan membawa keterangan penduduk,
dan surat bukti tanah. Disamping itu para Kepala Desa yang harus ikut hadir
dengan membawa beberapa register seperti :
v register
penduduk,
v letter C,
v jual beli
tanah,
v warisan
hibah tanah register gadai/ bagi hasil/ sewa tanah.
4. Pemeriksaan
dilakukan oleh anggota-anggota Badan Pekerja dengan disaksikan oleh Ketua
Panita Landreform Kecamatan dan para Kepala Desa yang bersangkutan.
Setelah
penetapan itu, bekas pemilik tanah wajib menandatangi Surat Penyerahan tanah
Kepada negara di dalam suatu Surat Penyerahan yang disebut Surat Tanda
Penyerahan Hak dan Pemberian Ganti Kerugian (STP3).
Untuk
mengetahui letak, luas dan jenis tanah yang digarap oleh masing-masing petani
diadakan pengukuran. Kemudian bagian-bagian tanah yang merupakan kelebihan
batas maksimum dikuasai Pemerintah Cq. Panita Landreform Kabupaten/Kota.
Tanah-tanah tersebut sebelum diberikan hak milik oleh Panitia Landreform
Kabupaten/Kota terlebih dahulu dikeluarkan Surat Ijin Menggarap (S.I.M) kepada
petani penggarap. Mereka diwajibkan membayar uang sewa kepada Pemerintah.
Dalam waktu selambat-lambatnya 2 tahun setelah SIM
tersebut dikeluarkan dan ternyata para penggarapnya telah memenuhi syarat yang
telah ditentukan, maka oleh Bupati/Walikota Kepala Daerah selaku Panitia
Landreform Kabupaten/Kota mengusulkan kepada Gubernur Kepala Daerah Cq. Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
(sekarang dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan sesuai Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1999 tanggal
19 Pebruari 1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah) agar tanah tersebut diberikan hak milik kepada para
petani penggarap tanah yang bersangkutan.
Tanah Absentee
Pemilik tanah absentee diwajibkan dalam waktu 6
bulan sejak tanggal 24 September 1961 mengalihkan hak atas tanahnya kepada
orang lain yang bertempat tinggal ditempat letak tanahnya atau ia sendiri harus
pindah ke kecamatan di mana tanahnya terletak. Bilamana ketentuan tersebut tidak
dipenuhi maka tanah yang bersangkutan dikuasai oleh Pemerintah dan dijadikan
obyek landreform serta diredistribusikan kepada orang lain yang memenuhi
syarat. Kepada bekas pemilik diberi ganti kerugian.
Tanah-tanah absentee yang dilaporkan tersebut dikuasai
pemerintah, terlebih dahulu kepada para pelapor atau pemilik tanah dalam jangka
waktu enam bulan sejak melaporkan tanahnya diberi kesempatan untuk segera
mengakhiri pemilikan hak atas tanahnya tersebut dengan cara mengalihkan tanah
tersebut kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanahnya,
atau pelapor/pemilik tanah tersebut pindah tempat ke kecamatan letak tanahnya.
Setelah penetapan itu, bekas pemilik tanah
absentee wajib menandatangani Surat
Penyerahan tanah Kepada negara di dalam suatu Surat Penyerahan yang disebut
Surat Tanda Penyerahan Hak dan Pemberian Ganti Kerugian (STP3) sama halnya
dengan prosedur penetapan tanah kelebihan maksimum.
Luas tanah absentee yang dilaporkan dengan luas
tanah absentee yang diambil oleh pemerintah sama. Penguasaan atas tanah absetee
didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 17
Desember 1962 No.SK.35/Ka/1962 tentang pelaksanaan penguasaan tanah pertanian
absentee. Dalam Keputusan tersebut ditetapkan bahwa penguasaan tanah-tanah yang
langsung dikuasai oleh pemerintah kewenangannya diserahkan kepada Panitia
Landreform Daerah Tingkat II dengan dibantu Pantia Landreform Kecamatan dan
Panitia Landreform Desa. Pantia Landreform Daerah Tingkat II berkewajiban :
n Menetapkan
besarnya ganti rugi
n Mengurus
pemberian SIM tanah kepada penggarap
n Menyelenggarakan
redistribusi.
Tanah Partikelir
Tanah
Partikelir adalah tanah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak yang
istimewa. Sifat dan corak yang istimewa
adalah dimana pemiliknya mempunyai hak pertuanan antara lain hak untuk mengakat/ memberhentikan kepala
kampung/ kepala desa atau lainnya, yang diberikan kewenangan dan kewajiban
kepolisian, menuntut kerja paksa (rodi) atau uang pengganti kerja rodi dari
penduduk yang berdiam diatas tanah tersebut, mengadakan pungutan-pungutan baik
dalam bentuk uang maupun hasil tanah, hak untuk mendirikan pasar-pasar,
memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan.
Pada
tanggal 24 Januari 1958 terbitlah Undang-undang No.1 Tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir
termasuk juga tanah eigendom yang
luasnya lebih dari 10 bouw (± 7 Ha) dengan pertimbangan bahwa hak eigendom
tersebut menyalahi maksud dari ketentuan Pasal 51 ayat (2) Indische
Staatregeling, dimana ditentukan bahwa pemberian eigendom tidak boleh belebihi
10 bouw dan itupun terbatas pada perluasan kota dan desa.
Dengan
berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1958 terhitung tanggal 24 Januari 1958
hak-hak pemilik beserta hak-hak pertuanannya atas semua tanah-tanah partikelir
hapus dan tanahnya karena hukum menjadi tanah negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3. Selanjutnya dalam Pasal 4 Likuidasi tiap tanah partikelir dilakukan
dengan Keputusan Menteri Agraria. Kepada bekas pemilik diberikan ganti
kerugian.
2.3. Pelaksanaan Redistribusi Tanah
Tahapan Pelaksanaan kegiatan Redistribusi TOL
meliputi :
1.
Penyuluhan
2.
Inventarisasi dan Identifikasi Subyek dan Obyek
a. Subyek
-
Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanah
yang bersangkutan atau kecamatan yang
berbatasan langsung dengan letak tanahnya
-
Identitas subyek (penggarap) yang sesuai KTP atau
surat keterangan dari kepala desa
-
STP3 (Surat
Tanda Penyerahan Penerimaan Hak dan Pemberian Ganti Rugi), apabila obyek
berasal dari tanah kelebihan maksimum/absentee
-
Dokumen pendukung seperti KTP, Kartu Keluarga, SPPT
PBB tahun berjalan, Surat Keterangan Tanah
serta Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah
c. Obyek
Tanah calon obyek redistribusi merupakan tanah
pertanian sesuai dengan arahan fungsi rencana tata ruang. Harus dipastikan bahwa lokasi redistribusi
tanah sesuai dengan Surat
Keputusan Penetapan Lokasi,
memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan, serta obyek harus clear dan clean secara fisik dan
yuridis.
3. Pengukuran
dan Pemetaan Batas Keliling. Pengukuran dan pemetaan batas keliling
dilaksanakan pada :
-
Tanah negara yang akan ditegaskan menjadi Tanah
Obyek Landreform. Pelaksanaan kegiatan
ini sesuai dengan
kegiatan penegasan tanah
negara menjadi tanah obyek landreform
-
Tanah-tanah obyek landreform yang belum pasti letak
dan luasnya.
-
Output
kegiatan berupa keliling serta peta situasi dan petunjuk lokasi
4.
Sidang Panitia Pertimbangan Landreform (PPL)
Kabupaten/ Kota. Pembentukan Panitia Pertimbangan Landreform mengacu pada
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Penyelenggaraan Landreform. Susunan keanggotaan Pantia Pertimbangan Landreform
adalah
1)
Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk, sebagai
Ketua, merangkap Anggota.
2)
Kepala Kantor Pertanahan, sebagai Wakil Ketua,
merangkap Anggota.
3)
Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan
pada Kantor Pertanahan sebagai
Sekretaris (nomenklatur menyesuaikan dengan Struktur dan Organisai Tata Kerja).
4)
Seorang Pejabat Tata Pemerintahan yang ditunjuk
oleh Bupati/ Walikota, sebagai Anggota.
5)
Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala
Kepolisian Resort Kabupaten/ Kota,
sebagai Anggota.
6)
Seorang Pejabat yang bertanggung jawab di bidang
Kehutanan Kabupaten/ Kota, sebagai Anggota.
7)
Seorang Pejabat yang bertanggung jawab di bidang
Pertanian Kabupaten/ Kota, sebagai
Anggota.
8)
Seorang Pejabat yang bertanggung jawab di bidang
Koperasi Kabupaten/ Kota, sebagai
Anggota
9)
Seorang Pejabat yang bertanggung jawab di bidang
Tata Ruang dan Permukiman Kabupaten/ Kota, sebagai Anggota.
10) Seorang
Pejabat yang bertanggung jawab di bidang Pertambangan Kabupaten/ Kota, sebagai Anggota.
11) Seorang
wakil Cabang HKTI Kabupaten/ Kota, sebagai Anggota.
12) Kepala Subseksi
Landreform dan Kepala
Subseksi Pemberdayaan Masyarakat
Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota selaku wakil sekretaris merangkap anggota.
13) Pejabat-pejabat
lain yang ditunjuk dari instansi/dinas yang terkait dengan urusan
pertanahan, sebagai Anggota
(sesuai kebutuhan serta
situasi dan kondisi Kabupaten/Kota masing-masing).
Materi Sidang PPL atau isi antara lain
meliputi : status tanah, letak tanah, luas tanah,
kesesuaian lokasi yang
diusulkan dengan RTRW
setempat, penggunaan tanahnya, kondisi clean
dan clear, daftar
penggarap, serta nama
bekas pemilik/ahli warisnya dan besarnya ganti kerugian yang
telah ditetapkan untuk tanah kelebihan maksimum dan absentee.
Hasil
Sidang PPL dituangkan
dalam Berita Acara
Sidang Panitia Pertimbangan Landreform yang
memuat materi sidang,
pelaksanaan sidang dan
hasil atau kesimpulan sidang.
Berita Acara Sidang PPL Kabupaten/Kota dalam rangka
Pelaksanaan pembagian tanah/
redistribusi tanah dimaksud untuk tanah yang sudah ditetapkan/ditegaskan menjadi Tanah Obyek
Landreform (TOL Lama : Penegasan Tanah
Negara Menjadi Obyek Landreform, SK Kinag, TOL yang berasal dari tanah Kelebihan Maksimum,
Absentee, Swapraja/bekas Swapraja), dimana letak tanah obyek landreform
dimaksud dianggap tidak
pasti atau dahulu
tidak pernah dilakukan pengukuran
kadastral terhadap bidang/bidang-bidang tanah dimaksud.
Apabila
di Kabupaten/Kota lokasi
kegiatan redistribusi TOL
belum dibentuk Panitia Pertimbangan
Landreform Kabupaten/Kota, maka BAPPL Kabupaten/Kota sebagai persyaratan usulan
penegasan tanah negara menjadi obyek landreform dapat diganti dengan
Rekomendasi Bupati/ Walikota. Substansi dari Rekomendasi Bupati/Walikota
prinsipnya sama dengan BAPPL
Kabupaten/Kota.
5.
Penegasan TOL. Usulan penegasan tanah negara
menjadi TOL disiapkan oleh Kepala Seksi Pengaturan dan Penguasaan Tanah Kantor
Pertanahan Kabupaten/ Kota berdasarkan hasil sidang PPL Kabupaten/Kota atau
Rekomendasi Bupati/Walikota dengan
dilengkapi dokumen yang telah ditentukan berdasarkan Petunjuk
Pelaksanaan Kegiatan Redistribusi Tanah
6.
Seleksi Calon Penerima Redistribusi TOL. Dilakukan
oleh Tim yang ditunjuk berdasarkan pada tugas pokok dan fungsi, keahlian,
pengalaman dan/atau kemampuan dari yang bersangkutan.
Kriteria
petani penggarap yang memenuhi persyaratan sebagai penerima redistribusi tanah
adalah sebagai berikut:
-
Warga Negara Indonesia
-
Bertempat tinggal di kecamatan/kecamatan berbatasan
langsung dengan tempat letak tanah yang bersangkutan
-
Berusia 17 tahun atau sudah pernah menikah
-
Menguasai dan
mengusahakan sendiri secara aktif atas tanah pertanian dimaksud yang
dibuktikan dengan surat pernyataan Penguasaan
Fisik dari penggarap yang
bersangkutan yang diketahui oleh kepala desa/lurah setempat
-
Bukan
berprofesi aktif sebagai
anggota PNS, TNI/POLRI,
Pegawai BUMN/BUMD, Dokter,
Pengacara/Advokat, Anggota DPR/DPRD
-
Luas penguasaan
tanah pertanian yang dapat
diberikan hak tidak melebihi 5 Ha, dengan
ketentuan keseluruhan tanah
yang dimiliki tidak
melebihi batas maksimum
kepemilikan tanah pertanian
-
Guna
memastikan bahwa para
penggarap calon penerima
redistribusi TOL sanggup mengikuti
ketentuan redistribusi TOL,
maka para penggarap membuat Surat Pernyataan yang diantaranya menyatakan
bahwa tanah yang dimiliki tidak melebihi
batas maksimum kepemilikan
tanah, kesanggupan calon
penerima redistribusi TOL untuk
memenuhi kewajiban yang
ditentukan dalam surat keputusan pemberian
hak (redistribusi tanah).
Surat Pernyataan dibuat oleh
masing-masing calon penerima
redistribusiTOL dan dikumpulkan
oleh Satgas Seleksi Penggarap
Calon Penerima Redistribusi
TOL.
7. Pengukuran
dan Pemetaan Bidang Tanah. Pengukuran dan pemetaan bidang tanah dilaksanakan
oleh petugas Pengukuran dan
Pemetaan yang dilaksanakan
sesuai dengan norma
dan standar.
8. Penerbitan
Surat Keputusan (SK) Redistribusi Tanah Obyek Landreform. Surat Keputusan
pemberian hak milik
diterbitkan oleh Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sesuai kewenangan yang
diberikan berdasarkan Peraturan
Kepala BPN RI Nomor 2 tahun 2013
9. Pembukuan
Hak dan Penerbitan Sertipikat. Dilaksanakan sesuai ketentuan penatausahaan
pendaftaran tanah yang
berlaku di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN
10. Penyerahan
Sertipikat. Sertipikat hak milik atas tanah yang telah selesai, diserahkan
kepada para penerima tanah sesuai dengan
nama yang tercantum
dalam sertipikat hak
milik tesebut.
11. Bina
Penerima Tanah. Bertujuan agar subyek
penerima tanah dapat
memanfaatkan tanah yang telah
diperolehnya seoptimal mungkin
sehingga dapat memberikan hasil optimal,
yang pada gilirannya
dapat meningkatkan taraf
hidup subyek penerima redistribusi tanah. Kegiatan bina penerima
tanah oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dilaksanakan melalui
koordinasi multi sektoral secara intensif, kontributif serta sinergi
yang baik dari
segenap pihak yang
terkait baik internal
maupun eksternal. Penerima tanah redistribusi difasilitasi dalam pembentukan koperasi bagi daerah yang belum
ada koperasi penggarapnya
BAB III. PENGHITUNGAN GANTI
RUGI TANAH
OBYEK LANDREFORM
3.1. Ketentuan Hukum Ganti Rugi TOL
Ganti
rugi tanah obyek landreform adalah pemberian ganti kerugian kepada bekas
pemilik, yang tanahnya terkena ketentuan landreform yang besarnya ditetapkan
oleh Panitia Landreform Kabupaten/Kota atas dasar perhitungan perkalian hasil
bersih rata-rata selama lima tahun terakhir, yang ditetapkan tiap hektarnya
menurut golongan kelas tanahnya.
Dalam
uraian Peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan
ganti rugi tanah obyek landreform. Dasar hukum penyelenggaraan ganti
rugi atas tanah partikelir adalah :
-
Undang-undang
No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir
-
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1958 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Penghapusan Tanah Partikelir
-
Surat Keputusan Deputi Menteri Kepala Departemen
Agraria No.SK.15/Depag/1966 tentang Pedoman tentang Penetapan Ganti Rugi Kepada
Bekas Pemilik Tanah Partikelir
Dasar
hukum penyelenggaraan ganti rugi atas tanah kelebihan maksimum dan absentee
adalah sebagai berikut :
- Undang-undang
No.56 Tahun 1960 tentang Penetapan luas Tanah Pertanian
- Peraturan
Pemerintah No.224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian
Ganti Rugi
- Peraturan
Pemerintah No.41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No.224 Tahun 1961
- Peraturan
Pemeriantah No.4 Tahun 1977 tentang Pemilican Tanah Absentee Bagi Para Pensiunan
Pegawai Negeri
- Keputusan
Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 1984 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Ganti Kerugian dan Harga Tanah Kelebihan
Maksimum dan Guntai (absentee) Obyek
Redistribusi Landreform
- Keputusan
Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Harga
Ganti Rugi Tanah Kelebihan Maksimum dan Absentee/Guntai
- Surat
Keputusan Menteri Dalam Negeri No.257 Tahun 1975 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Tehnis Pembayaran Ganti Rugi Secara Langsung
3.2. Permohonan Ganti Rugi TOL
Dalam
menguraikan persyaratan permohonan ganti rugi tanah obyek landreform akan
diuraikan mengenai persyaratan permohonan ganti rugi tanah kelebihan maksimum
dan tanah partikelir.
Tanah
Kelebihan Maksimum dan Absentee
Persyaratan-persyaratan
untuk mengajukan permohonan pembayaran ganti rugi tanah kelebihan maksimum dan
absentee sesuai dengan ketentuan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No.1 Tahun 2005 tentang Standar Prosedur Operasional Pelayanan
Pertanahan (SPOPP) adalah sebagai beikut
a.
STP3/Salinan
atau kutipan/surat wajib lapor
b.
Berita
Acara Sidang Panitia Pertimbangan Landreform apabila tanah kelebihan maksimum
dan absentee baru
c.
Perhitungan
penetapan ganti rugi berdasarkan SK. Menteri Dalam Negeri No.13 tahun 1984 Jo,
SK. Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 1992
d.
Perhitungan
harga tanah rata-rata 5 tahun terakhir
e.
Berita
Acara penelitian lapangan
f.
Keputusan
Bupati/Walikota tentang hasil bersih rata-rata tanah sawah dan tanah darat
g.
Daftar
penerima redistribusi
h.
Surat
Keputusan redistribusi
i.
Peta
rincikan (jika redistribusinya dilakukan di atas tahun 1990)
j.
Surat
Keterangan harga gabah perkwintal dari BULOG
k.
Surat
Keputusan Bupati/Walikota tentang penetapan tanah kelebihan maksimum dan
absentee apabila kelebihan maksimum dan absentee baru
l.
Surat
keterangan domisili penerima ganti rugi dari Kepala Desa/Lurah dilampiri foto
copy KTP
m.
Surat
Keterangan warisan (apabila ahli waris yang menerima ganti rugi)
n.
Surat
keterangan kematian (jika bekas pemilik telah meninggal dunia)
o.
Surat
pernyataan kesediaan menerima ganti rugi dari bekas pemilik atau ahli warisnya
p.
Surat
kuasa yang ditanda tangani oleh penerima ganti rugi sebagai pemberi kuasa yang
diketahui oleh Kepala Desa/Lurah
q.
No.
Rekening bank atas nama bekas pemilik/ahli waris (bila besarnya ganti rugi di
atas Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah).
r.
Surat
Permohonan Kakanwil BPN Provinsi ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
Pada prinsipnya
persyaratan dan prosedur pembayaran ganti rugi secara langsung sama dengan ganti rugi tidak langsung, hanya
berbeda pada tahap pelaksanaan pembayarannya yang dilakukan setelah memperoleh
ijin dari Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pelaksanaan dilakukan oleh penerima
redistribusi kepada bekas pemilik dihadapan Kepala Kantor Pertanahan dengan
disaksikan oleh Kasi Pengaturan Penguasaan Tanah dan menandatangi Berita Acara
Pembayaran.
Tanah
Partikelir
Persyaratan-persyaratan
untuk mengajukan permohonan pembayaran ganti rugi tanah partikelir sesuai
dengan ketentuan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun
2005 tentang Standar Prosedur Operasional Pelayanan Pertanahan (SPOPP) adalah
sebagai berikut :
a.
Surat
Permohonan dari bekas pemilik/ahli waris
b.
Surat
Keputusan kesediaan membayar ganti rugi dari Pemerintah Surat Keterangan
besarnya ganti rugi
c.
Daftar
Perhitungan besarnya ganti rugi penetapan berdasarkan SK Deputi Menteri Kepala
Departemen Agraria No.SK.15/Depag /1966
d.
Surat
Keterangan Kematian dan penetapan ahli waris (bila pemegang hak telah
meninggal)
e.
Surat
Kuasa dari bekas pemilik/ahli waris (bila dikuasakan)
f.
Surat
Pernyataan Kesediaan menerima ganti rugi
g.
Surat
keterangan domisili penerima ganti rugi dari Kepala Desa/Lurah dilampiri foto
copy KTP
h.
No.Rekening
bank atas nama bekas pemilik / ahli waris (bila besarnya ganti rugi di atas Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah)
i.
Peta
Bidang Tanah yang dimohon
j.
Putusan
Pengadilan (apabila prosesnya melalui lembaga Peradilan/gugatan)
k.
Surat
Permohonan Kakanwil BPN Provinsi ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional..
Usulan
permohoan pembayaran ganti rugi tanah obyek landreform baik tanah kelebihan
maksimum dan absentee serta tanah partikelir berawal adanya permohonan dari
bekas pemilik atau ahli waris/kuasanya melalui loket yang ada pada Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota.
Usulan
permohonan pembayaran ganti rugi tanah obyek landreform baik tanah kelebihan
maksimum dan absentee serta tanah partikelir berawal adanya permohonan dari
bekas pemilik atau ahli waris/kuasanya melalui loket yang ada pada Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi.
Setelah
Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Persetujuan pembayaran
ganti rugi diterbitkan dan disampaikan kepada pihak-pihak yang berwenang. Selanjutnya
sebelum pelaksanaan pembayaran ganti
rugi masih perlu langkah-langkah lain yang dilakukan oleh petugas atau pejabat
yang berwenang, yaitu sebagai berikut :
a.
Mengajukan
Permohonan bebas pungutan PPh pada Kantor Pelayanan Pajak
b.
Menyiapkan
Berita Acara Pembayaran Ganti Rugi
c.
Melakukan
pemanggilan kepada bekas pemilik tanah /ahli warisnya
d.
Penandatanganan
Berita Acara
e.
Pencairan
Uang melalui Bendaharawan Badan Pertanahan Nasional kepada Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara Jakarta
untuk ditranfer ke No Rekening bekas pemilik tanah./ahli warisnya.
Contoh
:
3.3. Tata Cara Perhitungan Ganti Rugi TOL
Pedoman ganti kerugian
tanah kelebihan maksimum dan absentee berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 7 PP No.
224 Tahun 1961 tanggal 19 September 1961.
Pedoman
pelaksanaan pembayaran ganti kerugian tanah obyek landreform yang berasal
dari tanah Partikelir adalah Undang-undang
No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir. Pelaksanaan ganti
rugi mengacu pada Surat Keputusan Deputi Menteri Kepala Departemen Agraria
No.SK.15/Depag/1966 tentang Pedoman tentang Penetapan Ganti Rugi Kepada Bekas
Pemilik Tanah Partikelir
Bentuk
dan Besar Ganti Kerugian menurut Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1958 tentang
Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1958.
Surat
Keputusan Deputi Menteri / Kepala Departemen Agraria No. SK. 15/
Depag/1966. Surat keputusan ini juga
sebagai jawaban dari kesulitan dalam menentukan ganti kerugian dalam bentuk
tanah. Berdasarkan Surat Keputusan ini,
pedoman ganti kerugian bekas tanah partikelir pada azasnya diberikan dalam
bentuk uang. Ganti kerugian dalam bentuk tanah diberikan apabila tanah yang
akan diberikan benar-benar dipergunakan sendiri oleh bekas pemilik tanah
partikelir.
Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri, Direktur Jenderal Agraria Nomor.Dir.10/202/10/73
tanggal 31 Oktober 1973 perihal Penyesuaian Ganti Kerugian Tanah-tanah
Partikelir. Surat edaran ini dikeluarkan
untuk mengatasi kesulitan dalam pelaksanaan di lapangan di mana bekas pemilik
tanah partikelir tidak lagi menguasai tanah yang diberikan sebagai ganti
kerugian.
Surat
Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 13
tahun 1997 yang pada intinya meniadakan pemberian ganti kerugian bagi bekas
pemilik tanah partikelir dan mencabut SK Deputi Menteri Kepala Departemen
Agraria No. SK 15/Depag/1966 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria
No.Dir.10/202/10/73 serta mencabut semua Surat Keputusan Kesediaan Pemerintah
untuk Memberikan Ganti Kerugian kepada Bekas Pemilik Tanah Partikelir.
Surat Keputusan
Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 12 tahun 1999,
mencabut Surat Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 13 tahun 1997.
Komentar
Posting Komentar